Senja selalu berhasil mencuri perhatian para penyair dan penulis. Keindahannya yang pudar perlahan, warnanya yang redup namun hangat, seolah menjadi metafora tentang akhir, perpisahan, dan pengharapan. Namun, di balik keelokan itu, adakah makna yang lebih dalam?

Gambar artikel
  • Post: Superadmin
  • 22 Jun 2025

Senja dalam Sastra: Simbol Romantisme atau Ketakutan akan Kepergian?

Dalam tradisi sastra Indonesia maupun dunia, senja kerap hadir sebagai simbol yang tak hanya merepresentasikan keindahan, tetapi juga ketidakpastian dan ketakutan. Chairil Anwar, dalam puisinya, menggunakan senja sebagai lambang kehampaan dan keheningan yang menggigit. Sementara Sapardi Djoko Damono mempersonifikasikan senja sebagai waktu yang paling jujur—ketika segala kepalsuan siang hari perlahan hilang.

Senja juga menjadi ruang refleksi bagi tokoh-tokoh dalam novel dan cerpen. Banyak penulis menggunakan waktu senja untuk melukiskan dialog batin, momen kontemplatif, bahkan pengambilan keputusan besar dalam kehidupan tokohnya. Warna keemasan yang menggurat langit menjadi lukisan emosional yang mampu menyampaikan lebih dari sekadar kata-kata.

Namun, tidak semua senja adalah keteduhan. Dalam puisi-puisi kontemporer, senja seringkali digambarkan sebagai waktu yang menakutkan—simbol berakhirnya sesuatu, datangnya kesendirian, atau tenggelamnya harapan. Inilah kekuatan sastra: ia mampu memberi makna ganda, tergantung pada siapa yang memandangnya, dan dari sisi mana ia dituliskan.